Gerbangrakyat.com  – Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Marcell Siahaan, mengungkapkan pandangan kritisnya terhadap skema pembayaran royalti yang disebut sebagai direct licensing. Menurutnya, skema ini tidak disarankan karena tidak diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta.

Dilansir dari CNBCIndonesia Marcell Siahaan menjelaskan bahwa Undang-undang di Indonesia tidak mendukung sistem direct licensing.

“Justru yang tidak disarankan oleh undang-undang kita adalah direct licensing. Karena itu tadi, menyulitkan, menyusahkan, lalu kemudian orang-orang bisa dengan seenaknya menggetok orang untuk bayar berapa pun tarif yang dia mau.” kata Marcell Siahaan

Salah satu risiko yang diidentifikasi oleh Marcell adalah potensi pencipta lagu menetapkan tarif yang tinggi di luar kesepakatan, menciptakan ketidakpastian bagi pembayar dan penerima royalti.

Sementara itu, Candra Darusman, musisi senior dan Dewan Pembina Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI), memberikan pandangan yang seimbang terkait direct licensing. Meski dianggap masuk akal secara logika sederhana, Candra menyoroti celah besar dan konsekuensi jangka panjang yang dapat dihadapi jika model ini menjadi satu-satunya cara pembayaran royalti.

“Sistem blanket [kolektif via LMK] memungkinkan pencipta yang kurang terkenal turut kecipratan royalti dari sebuah konser. Sementara, sistem direct mengandung risiko hal ini [pencipta kurang terkenal] jadi terabaikan. Walaupun pencipta lagu top bisa memperbaiki nasibnya.” ungkap Candra

Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) juga turut bersuara dalam kontroversi ini. Ketua Umum AKSI, Satriyo Yudi Wahono alias Piyu Padi Reborn, menjelaskan bahwa isu ini bermula dari LMKN yang menyatakan direct licensing melanggar UU Hak Cipta. Namun, Piyu berpendapat sebaliknya, bahwa direct license sah dan tidak melanggar UU Hak Cipta.

“Pencipta lagu yang melakukan direct license secara individu sudah bisa dipastikan tidak melanggar UU Hak Cipta, justru hal ini dapat menjadi solusi untuk mengatasi kelemahan LMKN dalam mengumpulkan royalti live performing,” ungkap Piyu dalam konferensi pers di Jakarta Selatan.

“Direct license adalah sistem atau skema, dan bukan Lembaga Manajemen Kolektif, sehingga ancaman pidana pada pasal 119 tersebut menjadi tidak berlaku” tambah Piyu.

Kontroversi ini terus memanas, memperlihatkan perbedaan pendapat di kalangan pekerja seni dan pihak terkait, sementara industri musik mencari solusi yang adil dan sesuai dengan regulasi yang berlaku.

Share: