Gerbangrakyat.com – Peristiwa Rengasdengklok merupakan salah satu momen penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 16 Agustus 1945, pukul 03.00 WIB, sekelompok pemuda yang terdiri dari Soekarni, Wikana, Aidit, dan Chaerul Saleh dari kelompok “Menteng 31” menculik Soekarno dan Hatta. Mereka membawa kedua tokoh tersebut ke Rengasdengklok, Karawang, untuk mendesak percepatan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Desakan ini berujung pada kesepakatan antara kelompok tua yang diwakili oleh Soekarno, Hatta, dan Mr. Achmad Subardjo, dengan kelompok muda mengenai waktu pelaksanaan proklamasi, terutama setelah kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik.
Meskipun dihadapkan pada tekanan tersebut, Soekarno dan Hatta tetap teguh pada pendirian mereka. Di Jakarta, Chaerul dan rekan-rekannya sudah merencanakan untuk merebut kekuasaan, tetapi rencana itu tidak sepenuhnya berhasil karena tidak semua anggota PETA mendukung. Akhirnya, proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dijadwalkan akan dibacakan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada hari Jumat, 17 Agustus 1945. Ada dua lokasi yang menjadi pilihan untuk pembacaan teks proklamasi, yaitu Lapangan IKADA (kini Monas) dan rumah Bung Karno di Jl. Pegangsaan Timur No. 56. Untuk menghindari potensi kericuhan dengan tentara Jepang yang sudah berjaga di Lapangan IKADA, rumah Bung Karno akhirnya dipilih sebagai lokasi pembacaan.
Teks Proklamasi disusun di Rengasdengklok, tepatnya di rumah Djiaw Kie Siong. Para pejuang di Rengasdengklok sudah mengibarkan bendera Merah Putih pada Kamis, 16 Agustus, sebagai persiapan untuk proklamasi. Karena tidak mendapat kabar dari Jakarta, Jusuf Kunto dikirim untuk berunding dengan para pemuda di Jakarta. Setelah sampai di Jakarta, Kunto hanya bertemu dengan Wikana dan Mr. Achmad Subardjo, kemudian mereka bersama-sama ke Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno, Hatta, Fatmawati, dan Guntur.
Pada malam 16 Agustus, rombongan tiba di Jakarta. Esok harinya, 17 Agustus 1945, proklamasi kemerdekaan dikumandangkan dengan teks yang diketik oleh Sayuti Melik menggunakan mesin tik yang “dipinjam” dari kantor Kepala Perwakilan Kriegsmarine, Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler.
Latar Belakang Peristiwa Rengasdengklok
Pada tanggal 14 Agustus 1945, Sutan Syahrir mendengar kabar dari radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu dalam Perang Asia Timur Raya. Segera setelah itu, ia menemui Soekarno dan Hatta untuk menyampaikan kabar tersebut. Pada saat itu, Soekarno dan Hatta baru saja kembali dari Dalat, Vietnam, usai bertemu dengan Marsekal Terauchi, pemimpin militer tertinggi Jepang untuk kawasan Asia Tenggara, yang menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia.
Namun, terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Syahrir mendesak agar kemerdekaan segera dideklarasikan, tetapi Soekarno dan Hatta yang masih ragu dengan berita kekalahan Jepang, memilih untuk menunggu kepastian dari Jepang. Untuk mengantisipasi situasi tersebut, kelompok muda memutuskan untuk menculik Soekarno dan Hatta agar mereka tidak terpengaruh oleh Jepang. Kelompok muda percaya bahwa kemerdekaan haruslah hasil perjuangan bangsa Indonesia, bukan pemberian dari Jepang.
Sehari setelah mendengar kabar kekalahan Jepang, kelompok muda mengadakan perundingan di Pegangsaan Timur, Jakarta, pada 15 Agustus. Dalam pertemuan ini diputuskan bahwa kemerdekaan harus dilaksanakan tanpa terikat pada janji kemerdekaan dari Jepang.
Makna dan Dampak Peristiwa Rengasdengklok
Peristiwa Rengasdengklok memiliki makna penting bagi sejarah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Tidak hanya sebagai nama tempat, Rengasdengklok menjadi saksi bisu perjalanan sejarah kemerdekaan Indonesia. Rapat yang dipimpin oleh Chaerul Saleh pada 15 Agustus menyepakati bahwa kemerdekaan Indonesia adalah keputusan rakyat Indonesia, bukan dari Jepang.
Malamnya, Wikana dan Darwis diutus untuk menemui Soekarno dan Hatta, menuntut agar proklamasi dilakukan pada 16 Agustus 1945. Jika tuntutan itu ditolak, mereka mengancam akan melakukan pergolakan besar. Namun, Soekarno dan Hatta menolak permintaan tersebut karena merasa bertanggung jawab sebagai ketua PPKI dan harus berunding dengan badan yang dibentuk oleh Jepang itu. Penolakan ini mendorong Wikana dan Darwis untuk mengadakan rapat di Jalan Cikini 71, Jakarta, dan memutuskan untuk membawa Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok, agar mereka tidak terpengaruh oleh Jepang.
Penculikan ini dipimpin oleh Shodanco Singgih dan dibantu oleh Cudanco Latief Hendraningrat yang menyediakan perlengkapan militer. Soekarno dan Hatta dibawa ke Rengasdengklok dan ditempatkan di rumah milik Djiaw Kie Siong. Penculikan ini terjadi pada 16 Agustus 1945, pukul 03.00 WIB, sehari sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.
Proklamasi dan Dampak Akhir Peristiwa Rengasdengklok
Setelah perundingan, diputuskan bahwa proklamasi kemerdekaan harus dilaksanakan di Jakarta. Mr. Achmad Subardjo menjamin kepada kelompok muda bahwa proklamasi akan segera dilakukan tanpa pengaruh Jepang. Pada malam hari 16 Agustus, rombongan kembali ke Jakarta dan Soekarno-Hatta dibawa ke rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, yang kini menjadi Gedung Perumusan Naskah Proklamasi.
Peristiwa Rengasdengklok memiliki dampak yang signifikan dalam mempercepat terlaksananya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1945, pukul 10.00 WIB, teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia akhirnya dibacakan oleh Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta, yang disaksikan oleh tokoh-tokoh penting bangsa.
Jika tidak ada Peristiwa Rengasdengklok, proklamasi mungkin tidak akan terjadi secepat itu. Golongan muda, yang lebih tanggap dan berani mengambil risiko, berhasil mendorong golongan tua untuk melaksanakan proklamasi pada momen yang tepat. Peristiwa ini menunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan penuh dengan dinamika, perdebatan, dan diskusi, tetapi yang terpenting adalah kesatuan tujuan untuk memerdekakan Indonesia.
Penutup
Peristiwa Rengasdengklok menjadi salah satu tonggak sejarah penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tanpa keberanian dan ketegasan kelompok muda yang menculik Soekarno dan Hatta, mungkin proklamasi kemerdekaan tidak akan terjadi pada 17 Agustus 1945. Peristiwa ini juga mengajarkan kita tentang pentingnya persatuan dan kesatuan dalam mencapai tujuan bersama, yaitu kemerdekaan Indonesia.
Sumber : Gramedia