Kemenag Sebut Kasus Pernikahan Kakek 74 Tahun dan Wanita Muda Pacitan Jadi Preseden Buruk
Gerbangrakyat.com – Pernikahan antara Kakek Tarman (74) dan wanita muda asal Pacitan, Shiela Arika (24), kembali menjadi perbincangan hangat publik. Bukan hanya karena perbedaan usia yang terpaut jauh, namun juga lantaran mahar fantastis yang disebut mencapai Rp 3 miliar serta kisruh yang muncul setelah akad nikah berlangsung. Polemik ini bahkan menarik perhatian Kementerian Agama (Kemenag) hingga para tokoh agama di daerah.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemenag, Kamaruddin Amin, mengaku prihatin atas munculnya fenomena pernikahan viral tersebut. Ia menilai kasus ini telah menimbulkan “gempa birokrasi” hingga ke tingkat pusat karena dianggap sebagai bentuk kelalaian dalam pengawasan proses pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA).
“Skandal pernikahan viral Kakek Tarman dengan mahar cek Rp 3 miliar di Pacitan kini telah menimbulkan ‘gempa bumi’ birokrasi hingga ke tingkat Kementerian Agama (Kemenag),” ujar Kamaruddin seperti dikutip dari laman Kata-kata Kota Kita.
Ia menegaskan agar para penghulu dan petugas KUA di seluruh Indonesia lebih berhati-hati dalam menangani proses pernikahan, terutama untuk menghindari adanya unsur penipuan atau manipulasi data.
“Tolong lebih hati-hati, jangan sampai ada yang tertipu,” tegasnya pada Sabtu (11/10).
“Pernikahan adalah ibadah sakral, bukan ajang main-main apalagi penipuan,” tambahnya.
Menurut Kamaruddin, kasus di Pacitan ini dapat menjadi preseden buruk yang mengancam kredibilitas lembaga keagamaan serta nilai sakral pernikahan dalam Islam. Ia bahkan menduga, ada kemungkinan kasus serupa telah terjadi namun belum terungkap.
“Atau bisa jadi sudah ada yang terjadi (tapi) tidak ketahuan kan,” ujarnya, menyiratkan adanya potensi “gunung es” dari kasus sejenis di berbagai daerah.
Sementara itu, dari sisi pandangan keagamaan, Ketua Dewan Pembina Dewan Da’wah Islamiyyah Pacitan, Ustaz H. Bahtiar, menilai pernikahan seperti ini harus dikaji secara serius dari aspek fiqh munakahat (hukum pernikahan dalam Islam).
“Pernikahan itu sesuatu yang suci, tidak boleh untuk permainan atau sensasi misalnya agar viral. Al-Qur’an menyebutnya sebagai mitsaqan ghalidha, artinya perjanjian kokoh yang berlaku dunia akhirat,” jelasnya.
“Bahkan, melampaui transaksi material yang syaratnya ‘an taradhin minkum (dengan keridhaan di antara kamu sekalian). Makanya nikah perlu saksi. Semua dimensi ijab, mahar, dan pernyataan sah dari saksi saat wali ijab qabul bisa batal demi hukum (tidak sah) jika terjadi penipuan dan atau pemalsuan data.”
Dari sisi hukum negara, Ketua Pengadilan Agama Pacitan, Mashudi, S.Ag, menolak memberikan tanggapan langsung terkait kasus tersebut. Melalui situs resmi Pengadilan Agama Pacitan, ia menyampaikan bahwa lembaganya hanya berwenang memberikan layanan dan informasi administratif.
“Kami tidak melayani pemberian statemen atau komentar, mohon maaf. Tugas kami hanya memberikan informasi seputar layanan kami saja,” tulis Mashudi melalui pesan resmi di nomor layanan publik yang tercantum di situs PA Pacitan.
Kasus pernikahan ini kini terus menjadi perhatian publik, bukan hanya karena kehebohan di media sosial, tetapi juga karena membuka diskusi baru tentang pentingnya pengawasan, kejujuran, dan nilai sakral dalam sebuah ikatan pernikahan. Pemerintah diharapkan dapat memperkuat regulasi agar pernikahan tidak lagi dijadikan bahan sensasi atau ajang penipuan berkedok cinta.














