Gerbangrakyat.com – Salah satu calon wakil bupati (Cawabup) di Kabupaten Probolinggo tengah menghadapi sorotan tajam. Ia dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) oleh LSM Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) terkait dugaan pemalsuan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai syarat pencalonan. Kasus ini mencuat setelah LIRA menerima informasi mengenai aset yang dimiliki Cawabup tersebut, yang tidak sesuai dengan laporan resmi yang diajukan ke KPU.
Informasi awal terkait dugaan ketidakakuratan LHKPN ini bermula dari hasil penelusuran LIRA melalui situs lelang salah satu bank besar di Indonesia. Di situs tersebut, ditemukan informasi tentang lelang sebuah rumah dan toko yang terletak di Desa Sumberanyar, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo. Aset tersebut dilelang oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) dengan nilai Rp 1,5 miliar.
“Dalam web itu disebutkan dilelang rumah dan toko di jalan Desa Sumberanyar Paiton dengan harga Rp. 1.500.000.000. Dipublish BRI mulai 31 Juli 2024. Dari situlah bendahara kami tertarik,” ungkap Bupati LIRA Probolinggo, Salamul Huda, Jumat (4/10/2024).
Lebih lanjut, LIRA melakukan penelusuran lanjutan untuk memperkuat bukti. Dari hasil investigasi mereka, ditemukan bahwa sertifikat atas properti tersebut memang masih atas nama sang Cawabup, dengan nomor sertifikat Hak Milik 672. Informasi ini memperkuat dugaan bahwa Cawabup tersebut memiliki aset yang tidak dilaporkan dengan benar dalam LHKPN.
“Kemudian untuk memperkuat itu, kami menelusuri dan mendapatkan sertifikat yang dilelang masih dan benar atas nama salah satu calon wakil bupati di Probolinggo dengan sertifikat Hak Milik Nomor 672 Desa Sumberanyar, Kecamatan Paiton,” lanjut Salam.
Dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Cawabup ini terkait dengan Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan Calon Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, dan Wakil Bupati. Secara spesifik, laporan ini menyasar pada Pasal 14 ayat (2) huruf j yang mengatur kewajiban calon untuk melaporkan harta kekayaan secara jujur dan terbuka sebagai bagian dari proses pencalonan.
Menurut Salam, terdapat perbedaan yang mencolok antara data yang dilaporkan oleh Cawabup dalam LHKPN dengan data yang ditemukan oleh LIRA. Dalam LHKPN yang dilaporkan, Cawabup tersebut dinyatakan tidak memiliki utang. Namun, berdasarkan temuan LIRA, Cawabup tersebut memiliki utang sebesar Rp 2,7 miliar, termasuk bunga dan dendanya.
“Sementara di LHKPN yang dilaporkan Cawabup yang dilaporkan sebagai syarat pencalonannya itu disebut tidak memiliki utang. Sedangkan data yang kami peroleh, yang bersangkutan ini memiliki utang sebesar Rp 2.744.378.317 berikut bunga dan juga dendanya,” tambah Salam.
Kasus ini kini menjadi perhatian publik, terutama terkait dengan integritas para calon pemimpin daerah yang diharapkan dapat berperan aktif dalam mengutamakan transparansi dan kejujuran. Proses selanjutnya akan berada di tangan Bawaslu untuk menyelidiki lebih lanjut dan memutuskan apakah Cawabup tersebut terbukti melanggar aturan yang berlaku atau tidak.
Reaksi Publik dan Langkah Selanjutnya
Kabar mengenai laporan ini dengan cepat menyebar di kalangan masyarakat Probolinggo. Banyak pihak yang menunggu bagaimana perkembangan kasus ini akan ditindaklanjuti oleh Bawaslu dan apa dampaknya terhadap pencalonan sang Cawabup. Jika terbukti melanggar, Cawabup tersebut bisa saja menghadapi sanksi yang berpotensi menggagalkan pencalonannya dalam pilkada mendatang.
Transparansi dalam pelaporan kekayaan pejabat negara merupakan salah satu isu penting dalam menjaga integritas pemilu. Kasus ini diharapkan menjadi pelajaran bagi para calon lainnya untuk senantiasa bersikap jujur dan terbuka dalam melaporkan seluruh kekayaan yang dimilikinya, termasuk utang yang harus dicantumkan dalam LHKPN.